Kamis, 27 Desember 2012

Santa Claus, Sebuah Rekayasa


Perayaan Natal sebentar lagi tiba, nuansa kristiani akan terasa hingga awal pergantian tahun. Di sudut-sudut hotel, gerai-gerai food court, mal-mal, hingga pusat-pusat bisnis banyak yang memasang ‘pohon terang’ yang dihiasi atribut-atribut khas natal seperti patung dan gambar santa claus, bahkan ada sebagian department store yang mewajibkan pramuniaganya untuk mengenakan atribut-atribut santa claus.
Ironisnya, perayaan natal kudus yang konon untuk memperingati kelahiran sang juru selamat: Yesus Kristus, maknanya justru tergantikan oleh maraknya mitos dan legenda sang pemberi hadiah: santa claus. Figur Tuhan Yesus sebagai tokoh sentral telah terpinggirkan oleh hegemoni dan gegap gempitanya komersialisme yang diusung Barat Kristen Liberal lewat tokoh tambun yang berpakaian serba merah serta bertopi jambul.
Ada beberapa mitos berhubungan dengan asal-usul santa claus, sejatinya sosok dermawan tersebut bernama Nicholas, berasal dari Lycia di Patara (Asia Kecil). Nicholas adalah seorang uskup yang murah hati, suka menolong orang miskin. Mitos Nicholas sebagai uskuppun telah dipelintir oleh kaum pagan sebagai figur yang suka membagi-bagikan hadiah untuk anak-anak yang baik serta menghukum anak-anak jahat dengan kekuatan sihir. Santa Nicholas gemar mengendarai kereta yang ditarik oleh rusa-rusa kutub.
Cerita tentang santa yang baik hati makin melegenda. Ada pula yang meyakini bahwa Santa Claus selalu ditemani seorang budak negro: Swarte Piet. Mereka hadir setiap perayaan natal dengan mengendarai kuda terbang yang akan mendarat di atap-atap rumah anak yang baik guna membagi-bagi hadiah lewat cerobong asap. Sejatinya ilustrasi tersebut menggambarkan diskriminasi rasial, ketika Santa Claus dilukiskan sebagai seorang kulit putih yang baik budi, sedang Swarte Piet cerminan seorang negro kejam yang suka menyiksa anak-anak nakal. Pada tahun 1969 gereja Roma Katholik yang dipimpin Paus Paulus VI menanggalkan perayaan Santa Nicholas dari kalender resmi gereja.
Banyak pendeta dan aktivis Katholik Kristen yang mengkritisi esensi perayaan natal yang telah tercemari oleh unsur komersial yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berkuasa. Dari produk makanan, minuman hingga pakaian mengusung tema Santa Claus. Perayaan natal lebih mengkultuskan mitos santa claus dibanding sosok Yesus sang juru selamat.
Alih-alih Santa Claus adalah mitos, bahkan perayaan natal 25 Desember sarat dengan pengaruh legenda pagan dan kisah mitos.
Paganisme Yunani-Romawi telah diadopsi oleh kaisar Constantine dalam menyebarkan agama Kristen. Salah satunya dengan mengukuhkan 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus sang penebus dosa. Sesungguhnya tanggal tersebut merupakan peringatan terhadap Dewa Matahari: Sol Invictus. Ketetapan ini dilegalkan kaisar Constantine pada 313 M dalam sebuah dekrit: Edict Of Milan.
Selanjutnya Constantine menetapkan hari matahari (sun day) sebagai hari libur kerajaan. Tak beda dengan kaum Yahudi, umat Kristiani sebenarnya menetapkan hari sabtu (Sabath) sebagai hari suci. Kalangan Kristen Ortodoks sampai saat ini masih memperingati hari kelahiran Al Masih pada tanggal 6 januari. Namun sebagai penghormatan kepada Sol Invictus maka perayaan natal sang juru selamat : Yesus , diubah pada setiap 25 Desember.
Pada galibnya Natal telah didominasi oleh tradisi kaum kafir pagan. Terlebih muncul tokoh fiktif Santa Claus yang sejatinya adalah rekayasa Barat Kristen Liberal dengan tujuan menghegemoni umat kristiani. Tidak hanya politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan ranah pemikiran sampai pada cara beriman serta beribadah kepada Tuhan telah terhegemoni. Barat Kristen Liberal ingin membentuk opini lewat penciptaan tokoh Santa Calaus bahwa Barat identik dengan kedermawanan, suka membagi-bagi hadiah dan menolong kaum tertindas.
Lantaran bangunan epistemologi kekristenan telah lapuk, tak heran bila Barat Kristen Liberal masih mempercayai mitologi. Jauh berbeda dengan pandangan Islam, dengan Islamisasi akan membebaskan insan dari magis, animisme, mitologi serta tradisi yang melenceng dari aqidah. Dus, Islamisasi membebaskan akal dari syak keraguan, dugaan, argumen kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, akal dan materi.
Akhirnya sungguh sangat kontoversial, figur Yesus yang ditengarai umat Kristiani sebagai sang penebus dosa tenggelam oleh histeria kepopuleran sang Santa Claus yang menghegemoni di tengah perayaan hari kelahiran Yesus yang diperingati umat Kristen di seluruh penjuru dunia. (Islampos)

sumber

0 komentar:

Posting Komentar