Perayaan
Natal sebentar lagi tiba, nuansa kristiani akan terasa hingga awal
pergantian tahun. Di sudut-sudut hotel, gerai-gerai food court, mal-mal,
hingga pusat-pusat bisnis banyak yang memasang ‘pohon terang’ yang
dihiasi atribut-atribut khas natal seperti patung dan gambar santa
claus, bahkan ada sebagian department store yang mewajibkan
pramuniaganya untuk mengenakan atribut-atribut santa claus.
Ironisnya,
perayaan natal kudus yang konon untuk memperingati kelahiran sang juru
selamat: Yesus Kristus, maknanya justru tergantikan oleh maraknya mitos
dan legenda sang pemberi hadiah: santa claus. Figur Tuhan Yesus sebagai
tokoh sentral telah terpinggirkan oleh hegemoni dan gegap gempitanya
komersialisme yang diusung Barat Kristen Liberal lewat tokoh tambun yang
berpakaian serba merah serta bertopi jambul.
Ada
beberapa mitos berhubungan dengan asal-usul santa claus, sejatinya
sosok dermawan tersebut bernama Nicholas, berasal dari Lycia di Patara
(Asia Kecil). Nicholas adalah seorang uskup yang murah hati, suka
menolong orang miskin. Mitos Nicholas sebagai uskuppun telah dipelintir
oleh kaum pagan sebagai figur yang suka membagi-bagikan hadiah untuk
anak-anak yang baik serta menghukum anak-anak jahat dengan kekuatan
sihir. Santa Nicholas gemar mengendarai kereta yang ditarik oleh
rusa-rusa kutub.
Cerita
tentang santa yang baik hati makin melegenda. Ada pula yang meyakini
bahwa Santa Claus selalu ditemani seorang budak negro: Swarte Piet.
Mereka hadir setiap perayaan natal dengan mengendarai kuda terbang yang
akan mendarat di atap-atap rumah anak yang baik guna membagi-bagi hadiah
lewat cerobong asap. Sejatinya ilustrasi tersebut menggambarkan
diskriminasi rasial, ketika Santa Claus dilukiskan sebagai seorang kulit
putih yang baik budi, sedang Swarte Piet cerminan seorang negro kejam
yang suka menyiksa anak-anak nakal. Pada tahun 1969 gereja Roma Katholik
yang dipimpin Paus Paulus VI menanggalkan perayaan Santa Nicholas dari
kalender resmi gereja.
Banyak
pendeta dan aktivis Katholik Kristen yang mengkritisi esensi perayaan
natal yang telah tercemari oleh unsur komersial yang dilakukan oleh para
pelaku bisnis yang berkuasa. Dari produk makanan, minuman hingga
pakaian mengusung tema Santa Claus. Perayaan natal lebih mengkultuskan
mitos santa claus dibanding sosok Yesus sang juru selamat.
Alih-alih Santa Claus adalah mitos, bahkan perayaan natal 25 Desember sarat dengan pengaruh legenda pagan dan kisah mitos.
Paganisme
Yunani-Romawi telah diadopsi oleh kaisar Constantine dalam menyebarkan
agama Kristen. Salah satunya dengan mengukuhkan 25 Desember sebagai hari
kelahiran Yesus Kristus sang penebus dosa. Sesungguhnya tanggal
tersebut merupakan peringatan terhadap Dewa Matahari: Sol Invictus.
Ketetapan ini dilegalkan kaisar Constantine pada 313 M dalam sebuah
dekrit: Edict Of Milan.
Selanjutnya
Constantine menetapkan hari matahari (sun day) sebagai hari libur
kerajaan. Tak beda dengan kaum Yahudi, umat Kristiani sebenarnya
menetapkan hari sabtu (Sabath) sebagai hari suci. Kalangan Kristen
Ortodoks sampai saat ini masih memperingati hari kelahiran Al Masih pada
tanggal 6 januari. Namun sebagai penghormatan kepada Sol Invictus maka
perayaan natal sang juru selamat : Yesus , diubah pada setiap 25
Desember.
Pada
galibnya Natal telah didominasi oleh tradisi kaum kafir pagan. Terlebih
muncul tokoh fiktif Santa Claus yang sejatinya adalah rekayasa Barat
Kristen Liberal dengan tujuan menghegemoni umat kristiani. Tidak hanya
politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan ranah pemikiran sampai pada cara
beriman serta beribadah kepada Tuhan telah terhegemoni. Barat Kristen
Liberal ingin membentuk opini lewat penciptaan tokoh Santa Calaus bahwa
Barat identik dengan kedermawanan, suka membagi-bagi hadiah dan menolong
kaum tertindas.
Lantaran
bangunan epistemologi kekristenan telah lapuk, tak heran bila Barat
Kristen Liberal masih mempercayai mitologi. Jauh berbeda dengan
pandangan Islam, dengan Islamisasi akan membebaskan insan dari magis,
animisme, mitologi serta tradisi yang melenceng dari aqidah. Dus,
Islamisasi membebaskan akal dari syak keraguan, dugaan, argumen kosong
menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, akal dan
materi.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar